Mengenal Penemuan Obat Melalui Perspektif Secangkir Kopi

Jakarta

Judul Buku: Secangkir Kopi dan Penemuan Obat Diabetes: Studi Dinamika Molekul; Penulis: Prof. Enade Perdana Istyastono; Penerbit: Universitas Sanata Dharma Press, November 2021; Tebal: xvi+109 halaman

Kelaziman di Indonesia, dunia industri ada satu atau beberapa langkah di depan dunia pendidikan. Ketika saya kuliah farmasi dulu, alat seperti High-Performance Liquid Chromatography (HPLC) yang digunakan di laboratorium berbeda levelnya dengan yang dipakai di industri. Konsep dasarnya memang sama, tetapi berbagai otomasi dan pembaruan yang terjadi cukup memberikan kegagapan bagi seseorang yang baru lulus kuliah ketika kemudian terjun di dunia kerja. Kondisi inilah yang kemudian coba dijembatani dengan praktek kerja lapangan atau yang kini akrab disebut magang.

Di sisi lain, ada anomali pada sejumlah bidang, salah satunya kimia komputasi. Selama 5 tahun saya menjadi bagian dari industri farmasi, terlihat bahwa konsep drug development itu tidak dimiliki oleh banyak industri. Secara umum, pengembangan yang dilakukan untuk obat-obatan adalah lebih kepada formulasi, dalam kaitan dengan pembaruan kualitas maupun efisiensi pada proses produksi. Tidak cukup banyak industri farmasi terutama di Indonesia yang bergerak untuk “menemukan obat baru”. Pada saat yang sama, di dunia pendidikan, perkembangan kimia medisinal komputasi berjalan dengan lebih cepat dan pada dasarnya ada peluang untuk menanti kecepatan industri farmasi secara masif sehingga kelak bersua di satu titik.

Kimia komputasi sejatinya adalah terobosan besar dalam penemuan obat-obat baru. Dahulu kala, untuk menemukan molekul baru yang bisa digunakan untuk menyembuhkan suatu penyakit harus dilakukan percobaan di laboratorium terlebih dahulu. Nah, kimia komputasi menihilkan proses itu namun dengan tetap memberikan gambaran yang valid. Muaranya adalah proses penemuan obat baru dapat dilakukan dengan lebih cepat dan tentu saja jauh lebih murah karena ada banyak hal yang bisa diefisienkan pada prosesnya. Data-data yang ada dari begitu banyak penelitian terkumpul menjadi sebuah basis pemodelan.

Enade Perdana Istyastono merupakan seorang Guru Besar di bidang ilmu Analisis Farmasi dan Kimia Medisinal. Sebagai seorang profesor, Enade terbilang masih cukup muda secara usia namun juga kenyang pengalaman kimia komputasi bahkan hingga tingkat internasional. Buku ini pada dasarnya adalah bagian dari penelitian berjudul Desain dan Penemuan Inhibitor Enzim Matrix Metalloproteinase 9 dari Bahan Alam untuk Terapi Luka Diabetes Menggunakan Pendekatan Kimia Medisinal Komputasi yang didanai oleh Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Sebagai bagian dari penelitian, muatannya tentu mengarah ke akademis. Dan sejujurnya, separo dari konten buku ini sifatnya sangat teknis. Dari halaman 77 sampai 103, pembaca bahkan disuguhkan script yang digunakan untuk pemodelan. Sebagai buku dengan genre farmasi, pembaca yang punya latar belakang kimia medisinal tentu akan lebih mudah mengikuti alur buku ini. Walau demikian, penggunaan sudut pandang orang pertama baik sebagai peneliti, sebagai dosen, maupun sebagai reviewer memberikan nuansa yang berbeda dibandingkan membaca buku ilmiah lainnya. Apalagi kemudian Enade menggunakan pengantar bertajuk ‘secangkir kopi’ pada judul sekaligus menjadi argumentasi penting yang sekaligus berperan sebagai tulang punggung buku ini.

Di daftar singkatan, misalnya, secara unik kita bahkan bisa mendapati bahwa AADC yang bermakna ‘Ada Apa dengan Cinta’ bersisian dengan AChE dalam makna ‘Asetilkolinesterase’. Pada salah satu bagiannya, buku ini memang menjelaskan tentang kopi dan kandungannya lewat kisah yang ditarik dari sosok Pepeng Klinik Kopi yang cukup tersohor di Jogja terutama sejak fenomena AADC2.

Nuansa personal tersebut yang sebenarnya memungkinan bagi kita untuk menuntut Enade agar menyusun buku ini dalam perspektif yang berbeda di masa depan, fokus untuk memperkenalkan tentang kimia medisinal dan kimia komputasi secara dasar kepada publik. Utamanya untuk dapat mengkesplorasi separo muatan dari buku yang memang betul-betul dasar kimia komputasi.

Sebut saja pada halaman 1, sejatinya tidak cukup banyak orang Indonesia dan bahkan orang lulusan farmasi sekalipun yang ngeh bahwa kata ‘obat’ di Indonesia itu mengalami kendala pemaknaan karena dalam bahasa Inggris ada ‘drug‘ dan ada ‘medicine‘ sebagai terjemahan kata ‘obat’ tersebut.

Obat dalam terjemahan ‘drug‘ disebut Enade seperti sebuah substansi kimia yang diketahui strukturnya dan jika dipejankan pada makhluk hidup akan menghasilkan aktivitas biologis, sedangkan obat yang ditarik dari makna ‘medicine‘ merupakan sediaan hasil formulasi yang terdiri dari satu atau lebih zat aktif dengan tambahan eksipien dengan tujuan menghasilkan aktivitas terapeutis. Bahkan untuk menerjemahkan soal obat saja, ada diskursus yang panjang dan sejatinya menarik untuk dikembangkan lebih lanjut.

Buku ini memang belum dapat menyimpulkan praktik yang tepat perihal manfaat kopi sebagai obat diabetes nantinya. Walau demikian, melalui buku ini, seorang awam sekalipun akan memperoleh perspektif yang lebih mendasar dalam memahami proses panjang penemuan suatu obat berikut pergulatan batin dari penelitinya. Hal ini menurut saya penting karena terutama sejak pandemi COVID-19, obat kerap dipandang dalam perspektif komoditi sekaligus sebagai pelengkap konspirasi bahwa suatu penyakit dibuat untuk menjual obatnya saja. Padahal, proses yang ada di baliknya jauh dari semuanya itu.

(mmu/mmu)

Selengkapnya


Posted

in

by

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *