Kemnaker Dorong Ekosistem Seni yang Ramah bagi Perempuan

Jakarta

Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menegaskan setiap warga negara berhak berkesenian secara bebas, termasuk dalam musik terlepas apapun gendernya. Ini adalah bentuk kesetaraan gender yang mana merupakan salah satu hak asasi sebagai manusia.

Hal ini ia sampaikan saat menjadi pembicara pada Talkshow Perayaan Hari Musik Nasional dengan tema ‘Kesetaraan & Kesejahteraan Bagi Pelaku Musik’ di Lombok, Nusa Tenggara Barat.

“Hak untuk hidup secara terhormat, bebas dari rasa ketakutan dan bebas menentukan pilihan hidup tidak hanya diperuntukan bagi para laki-laki, tetapi perempuan mempunyai hak yang sama,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Rabu (9/3/2022).

Ida menjelaskan dalam konteks menghilangkan stigma sosial dan kekerasan seksual, Indonesia telah meratifikasi Konvensi ILO No. 100 Tahun 1951 tentang Pengupahan yang Sama Bagi Pekerja Laki-laki dan Wanita untuk Pekerjaan yang Sama Nilainya, dan Konvensi ILO 111 Tahun 1958 tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan, serta Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW).

Menurutnya, ratifikasi Konvensi tersebut merupakan wujud komitmen Indonesia untuk mencapai kesetaraan kesempatan dan perlakuan sehubungan dengan pekerjaan dan jabatan.

Lebih lanjut Ida mengatakan pengakuan prinsip-prinsip kesetaraan kesempatan untuk laki-laki dan perempuan dalam memperoleh hak untuk hidup tanpa rasa takut dari kekejaman dan pelecehan telah diatur dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi “tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” dan Pasal 28 I ayat (2) yang berbunyi “setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”.

Ia pun menambahkan konsepsi kerja layak untuk semua yang berlaku secara internasional dilakukan dengan pemenuhan hak-hak mendasar bagi pekerja. Salah satunya adalah hak untuk diperlakukan tidak diskriminatif atau tidak dilecehkan.

Kendati demikian, lanjut Ida, dalam masyarakat masih terdapat stigma sosial yang menganggap musisi laki-laki lebih dihargai karena dianggap berkarya, sedangkan musisi perempuan cenderung hanya dilihat dari sisi fisik maupun penampilannya.

“Selain itu, dalam praktek masih banyak masyarakat yang menganggap musisi perempuan hanya sebatas penghibur sehingga sering mendapatkan perlakuan kekerasan seksual,” tandasnya.

Untuk itu, berbagai upaya harus dilakukan guna mengatasi permasalahan yang sering dihadapi oleh pelaku musik perempuan Indonesia. Sebab, saat ini berbagai situasi yang tidak menguntungkan dialami oleh musisi perempuan, seperti akses dan kesempatan yang tidak merata, kerja tanpa kontrak tertulis, eksploitasi kerja, hingga kekerasan seksual.

“Oleh karena itu ekosistem seni yang ramah bagi perempuan sebagai pelaku musik perlu dibangun agar tidak terjadi ketimpangan gender secara sistemik,” pungkas Ida.

(akn/ega)

Selengkapnya


Posted

in

by

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *