Pemilu 2024, Kendaraan Listrik, dan Keamanan Lingkungan

Jakarta

Tulisan ini berangkat dari pandangan bahwa Pemilu 2024 hendaknya diisi diskursus mengenai kebijakan-kebijakan yang bisa membawa bangsa menuju Indonesia Emas 2024. Tanpa bermaksud mengesampingkan isu-isu penting lainnya, salah satu yang patut menjadi prioritas adalah kebijakan kendaraan listrik (electric vehicle). Penting untuk melihat dan mendengar pandangan setiap calon kandidat presiden dan wakil presiden mengenai isu ini.

Posisi pemerintahan Presiden Joko Widodo jelas. Membangun industri kendaraan listrik adalah keniscayaan, bahkan syarat utama, agar cita-cita Indonesia Emas 2024 terwujud. Sumber daya alam dan manusia tersedia melimpah. Teknologinya relatif sudah ekonomis. Investor pun tertarik untuk datang. Debat muncul ketika kebijakan tersebut ditempuh dengan subsidi. Lebih serius lagi karena yang disubsidi tidak hanya di hulu (produksi), namun hilir (konsumsi).

Pertanyaan kritisnya kurang lebih seperti ini: perlukah konsumen kendaraan listrik disubsidi? Jawabannya perlu, ketika target kebijakan tersebut untuk mempercepat konsumsi kendaraan listrik nasional. Ada motif mengalihkan perilaku masyarakat Indonesia dari konsumsi kendaraan konvensional ke kendaraan listrik. Masuk akal juga dengan rencana strategis nasional di mana industri kendaraan listrik, hulu dan hilir, ikut menopang pertumbuhan ekonomi nasional pascapandemi sampai dengan 2045.

Legitimasi atas target ini pun kuat. Dari historinya, pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih kredibel ditopang konsumsi masyarakat. Hari ini, pemerataan ekonomi terlihat signifikan di daerah-daerah sentra bahan baku baterai –Sulawesi Tenggara dan Maluku Utara. Dari sisi proyeksi, dengan asumsi kelas menengah terus bertambah jumlah dan pendapatannya, konsumsi kendaraan listrik murah tentu masuk akal untuk memastikan pertumbuhan ekonomi berjalan, klaim pemerataan ekonomi pun kena.

Jawaban Sebaliknya

Jawaban sebaliknya muncul apabila kebijakan tersebut ditujukan untuk mengurangi polusi. Sampai hari ini belum ada konsensus bilamana kendaraan listrik bisa mengurangi polusi. Faktanya, mengambil studi kasus di China dan Amerika Serikat, produksi kendaraan listrik pun berkontribusi cukup besar dalam polusi udara. Apalagi produksi kendaraan listrik di dua negara adidaya tersebut masih bertumpu pada energi dari batu bara, minyak bumi, atau gas alam.

Lebih jauh, dalam Insights Into Future Mobility, para peneliti dari MIT Energy Initiative (2019) menemukan bahwa produksi kendaraan listrik menciptakan polusi lebih banyak dibandingkan kendaraan berbahan bakar konvensional. Polusi ini terutama berasal dari proses produksi baterai, yang notabene komponen utama mobil listrik.

Dalam skenario penggunaan dalam jangka waktu lama, studi ini juga menemukan bahwa kendaraan listrik bisa terlegitimasi “ramah lingkungan” karena efisiensi energinya lebih tinggi dibandingkan kendaraan berbahan bakar konvensional. Dengan demikian, dalam kasus Indonesia, yang produksi listriknya masih bertumpu pada energi fosil, persentase energi baru terbarukan (EBT) dalam bauran energinya baru 14 persen, hilirisasinya terfokus pada baterai, klaim menurunkan polusi tentu masih jauh panggang dari api.

Kendaraan listrik baru benar-benar mengurangi polusi ketika; pertama, produsen telah menemukan metode produksi baterai yang lebih efisien energi. Di sini peran kolaborasi industri-peneliti. Kedua, listrik yang digunakan untuk mengisi baterainya berasal dari sumber-sumber energi baru terbarukan. Di sini peran pemerintah. Pemerintahan Presiden Joko Widodo pun terlihat serius berupaya mewujudkannya. Ini yang patut dikonsistenkan. Ini legacy Presiden Joko Widodo –selain hilirisasi industri dan lain-lain– yang perlu dilanjutkan oleh siapapun penggantinya.

Pernyataan ini teresonansi dalam salah satu kesimpulan studi Bank Dunia (2023) berjudul The Economics of Electric Vehicles for Passenger Transportation. Di atas kertas, kendaraan listrik hampir selalu “rendah karbon” dibandingkan kendaraan berbahan bakar konvensional, namun keunggulan ini hanya relevan apabila transisi pembangkitan listrik –dari energi fosil ke EBT– berjalan konsisten di negara tersebut.

Sebagai catatan, studi ini dilakukan di 20 negara berkembang, dan Indonesia tidak termasuk di dalamnya. Namun, saya sangat merekomendasikan studi ini kepada pembaca yang tertarik dengan isu kendaraan listrik.

Lebih mantap lagi jika pemerintah mampu merekayasa perilaku masyarakat. Spesifiknya dengan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi dan beralih ke transportasi publik. Membiasakan budaya berjalan kaki atau bersepeda. Tentu ditunjang ruang publik yang hijau. Semua ini rumus lama. Pakar seperti Florian Kobloch dari Universitas Cambridge sering menegaskannya dalam diskursus mobil listrik dan perubahan iklim.

Prioritas Subsidi

Dalam konteks kendaraan listrik dan polusi, saya lebih setuju apabila subsidi diprioritaskan pada sisi hulu. Entah ditujukan untuk produsen kendaraan listrik yang berinvestasi pada riset dan teknologi produksi baterai yang lebih ramah lingkungan bekerja sama dengan perguruan tinggi nasional, atau produsen kendaraan listrik yang berinvestasi pada pembangkit listrik EBT untuk kebutuhan operasional pabriknya.

Lalu, untuk produsen EBT –baik BUMN, swasta nasional, dan asing. Semata-mata agar percepatan bauran energi bisa terealisasi. Hal ini penting, karena target kontribusi EBT sebesar 23 persen pada 2025 hampir pasti tidak tercapai. Belum lagi baru-baru ini Presiden menegaskan Indonesia akan menutup pembangkit listrik batu bara pada 2050. Kebijakan tidak populer –mensubsidi sektor privat– hendaknya diprioritaskan.

Termasuk “subsidi” kepada dosen dan peneliti di perguruan tinggi nasional yang mengkaji industri EBT, baik dari sisi sains dan sains sosial. Khusus untuk sisi sosial, resistensi masyarakat terhadap sejumlah pembangkit EBT masih menjadi misteri. Solusi yang bersifat “win-win” pun belum bisa direplikasi pada banyak tempat.

Benar kata Sergey Paltsev, peneliti dari MIT, bahwa kita tidak seharusnya mengklaim kemenangan, bahwa dengan beralih ke kendaraan listrik, problem emisi bisa diselesaikan. Klaim penggunaan mobil listrik secara massal baru berlaku dalam konteks keamanan ekonomi (economic security), belum keamanan lingkungan (environmental security).

Denny Indra Sukmawan mahasiswa PhD Politik dan Hubungan Internasional, sedang meneliti Trade & Investment Controls on Security Grounds di University of Liverpool

(mmu/mmu)

Selengkapnya


Posted

in

by

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *