Memudahkan Ibadah Haji bagi Lansia

Jakarta

Usia yang sudah mencapai umur 60 tahun ke atas, berarti tergolong kelompok lanjut usia atau lansia. Pada umumnya, pada usia lansia, ketahanan tubuh dan kesehatannya terus berkurang.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO) dan Undang Undang Nomor 13 Tahun 1998 kelompok lansia adalah mereka yang berumur 60 tahun atau lebih. Menurut WHO pada tahun 2030, 1 dari 6 orang di dunia akan berusia 60 tahun atau lebih.

Penyebutan umur 60 tahun ke atas sebagai kelompok lansia ada kaitannya dengan penjelasan hadis Nabi :

أَعْمَارُ أُمَّتِـي مَا بَيْنَ السِّتِّيْنَ إِلَى السَّبْعِيْنَ وَأَقَلُّهُمْ مَنْ يَجُوزُ ذَلِكَ

“Umur-umur umatku antara 60 hingga 70 tahun, dan sedikit orang yg bisa melampaui umur tersebut” (HR. Ibnu Majah).

Keterbatasan melaksanakan ibadah secara sempurna, selain banyak dipengaruhi umur yang sudah lansia, juga bisa disebabkan karena ada risiko tinggi (risti). Meski umurnya masih muda, tapi jika berisiko tinggi apabila banyak melakukan aktivitas-aktivitas berat, maka perlu mendapat perhatian dan pelayanan yang sama dengan mereka yang sudah lansia.

Kemudahan Ibadah Haji Bagi Lansia dan yang Berisiko Tinggi

Ibadah yang membutuhkan gerakan fisik, seperti salat, tawaf, wukuf di Arafah pada saat haji, dalam kondisi normal wajib dikerjakan dengan cara sempurna. Sementara untuk orang yang sudah lansia dan orang yang masuk kriteria berisiko tinggi, maka dalam melaksanakan ibadahnya bisa dengan cara mengambil ketentuan yang memudahkan bagi mereka.

Semangat memberikan kemudahan dalam segala hal, termasuk dalam memberikan tuntunan ibadah bagi lansia dan yang berisiko tinggi, bagian dari cerminan dari semangat moderasi dalam pengamalan ajaran Islam.

Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda, يَسِّرُوا وَلَا تُعَسِّرُوا وَسَكِّنُوا وَلَا تُنَفِّرُوا

“Mudahkanlah setiap urusan dan janganlah kalian mempersulitnya, buatlah mereka tenang dan jangan membuat mereka lari.” (HR. Bukhari)

Salat di Hotel Sama dengan di Masjidil Haram?

Salat di Masjidil Haram sangat memiliki kemuliaan (fadilah) karena pahalanya dilipatgandakan
hingga seratus ribu kali lipat dibanding dengan salat di tempat lainnya.

وَعَنِ اِبْنِ اَلزُّبَيْرِ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةٌ فِي مَسْجِدِي هَذَا أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلَاةٍ فِيمَا سِوَاهُ إِلَّا اَلْمَسْجِدَ اَلْحَرَامَ، وَصَلَاةٌ فِي اَلْمَسْجِدِ اَلْحَرَامِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةٍ فِي مَسْجِدِي بِمِائَةِ صَلَاةٍ (رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَصَحَّحَهُ ابْنُ حِبَّانَ)

“Artinya: Dari Ibn az-Zubair ra ia berkata, Rasulullah saw bersabda, bahwa salat di Masjid-ku ini lebih utama dibanding seribu salat di masjid lain kecuali Masjidil Haram. Sedang salat di Masjidil Haram lebih utama di banding salat di Masjidku dengan kelipatan pahala seratus ribu salat”. (H.R. Ahmad dan disahihkan oleh Ibnu Hibban).

Hadits di atas memotivasi umat Islam, khususnya para jemaah haji atau umrah untuk melaksanakan salat di Masjidil Haram. Bagi orang yang sehat dan tidak sedang dalam risiko tinggi, tentu hal tersebut merupakan kesempatan besar untuk mengerjakannya selama mereka berada di Masjidil Haram, baik saat ada di Mekah atau Madinah. Namun demikian, bagi orang yang sulit karena faktor lansia atau risiko tinggi, ia boleh mengerjakan salat di hotel. Mereka tetap mendapatkan keutamaan pahala salat sebagaimana di Masjidil Haram, sebab seluruh Tanah Haram
adalah Masjidil Haram sebagaimana penjelasan sahabat Ibnu Abbas:

عن ابنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما قَولُه: الحَرَمُ كُلُّه هو المسجِدُ الحرامُ

“Artinya; Dari Ibnu Abbas berkata; Tanah Haram seluruhnya adalah Masjidil Haram”.

Imam as-Suyuti menjelaskan, yang dimaksudkan dengan Masjidil Haram adalah seluruh Tanah Haram.

أَنَّ التَّضْعِيفَ فِي حَرَمِ مَكَّةَ لَا يُخْتَصُّ بِالْمَسْجِدِ بَلْ يَعُمُّ جَمِيعَ الْحَرَمِ

“Sesungguhnya pelipatgandaan pahala di Tanah Haram Makkah tidak dikhususkan hanya di Masjidil Haram tetapi meliputi seluruh Tanah Haram. (Jalaluddin as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazhair, halaman 523).

ذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ فِي الْمَشْهُورِ وَالْمَالِكِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ إِلَى أَنَّ الْمُضَاعَفَةَ تَعُمُّ جَمِيعَ حَرَمِ مَكَّةَ

“Madzhab Hanafi dalam pendapat yang masyhur, Madzhab Maliki dan Syafi’I berpendapat bahwa pelipatgandaan (pahala di Tanah Haram Makkah) itu meliputi seluruh Tanah Haram Makkah”. ( Wizarah al-Awqaf wa asy-Syu`un al-Islamiyyah, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Kuwait-Thab’ al-Wizarah, juz, 37, halaman 239).

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan, bahwa bagi jemaah haji/umrah yang sudah lansia atau berisiko tinggi, jika mereka tidak memungkinkan untuk salat secara langsung di Masjidil Haram, maka sebaiknya mereka memilih salat di hotel dan pahalanya sama dengan datang langsung salat di Masjidil Haram.

Abdul Muiz Ali, Petugas Haji 1444 H, Pengurus Lembaga Dakwah PBNU dan Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI

(mae/mae)

Selengkapnya


Posted

in

by

Tags:

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *