Fenomena Aneh, Selama Lockdown COVID Jarang Ada Petir

Jakarta

Ketika virus Corona mulai menyebar dan banyak tempat berbagai negara melakukan lockdown untuk pembatasan jarak fisik, jarang ada petir. Demikian menurut sebuah penelitian. Ternyata ini ada kaitannya dengan aktivitas manusia.

Saat lockdown, manusia menggunakan lebih sedikit energi dan menghabiskan lebih banyak waktu di rumah. Dampaknya, udara dan air menjadi lebih bersih, dunia pun sejenak beristirahat dan terasa tenang.

Kini, para peneliti berpikir mereka menemukan dampak lain dari lockdown. Mereka percaya bahwa partikel kecil di atmosfer yang disebut aerosol berkontribusi terhadap petir.

Nah, aktivitas manusia seperti pembakaran bahan bakar fosil melepaskan aerosol. Seperti dikutip dari Discover Magazine, karena manusia melepaskan lebih sedikit aerosol selama lockdown, konsentrasi aerosol di atmosfer menurun.

Bulan lalu, para peneliti di American Geophysical Union di New Orleans mempresentasikan temuan yang menunjukkan bahwa penurunan aerosol atmosfer ini bertepatan terjadinya dengan penurunan intensitas petir.

Earle Williams, ahli meteorologi di Massachusetts Institute of Technology yang mempresentasikan penelitian tersebut, mengatakan timnya menggunakan tiga metode berbeda untuk mengukur petir.

“Semua hasil menunjukkan tren yang sama yaitu, aktivitas petir berkurang terkait dengan konsentrasi aerosol berkurang,” katanya.

Pengaruh aktivitas manusia pada petir

Beberapa aerosol di atmosfer dapat mengumpulkan uap air dan membentuk tetesan awan. Williams mengatakan bahwa ketika ada lebih banyak aerosol, uap air di awan didistribusikan di antara lebih banyak tetesan, sehingga tetesan menjadi lebih kecil dan lebih sedikit kemungkinannya untuk bergabung menjadi tetesan hujan yang lebih besar.

Tetesan yang lebih kecil ini tetap berada di awan, membantu pembentukan hujan es kecil yang disebut graupel dan bahkan kristal es yang lebih kecil. Tabrakan antara graupel dan kristal menghasilkan graupel bermuatan negatif di bagian tengah ke bawah awan dan kristal bermuatan positif di bagian atas awan. Para ilmuwan berpikir perbedaan besar dalam muatan antara dua bagian awan ini menyebabkan kilat.

“Tetapi ketika polusi berkurang dan awan membentuk tetesan hujan yang lebih besar dan lebih hangat, terbentuk awan partikel es ‘kelaparan’ yang dibutuhkan untuk pemisahan muatan, dan mengurangi aktivitas petir,” kata Williams.

Ketika negara-negara melakukan lockdown pada awal pandemi, manusia mengeluarkan lebih sedikit aerosol ke atmosfer. Produksi di pembangkit listrik yang membakar bahan bakar fosil pun turun.

Orang-orang juga lebih jarang menggunakan mobil. Lalu lintas mobil memiliki dampak besar pada produksi aerosol permukaan. Demikian pula, polusi dari perjalanan udara menurun secara signifikan,” sebut Williams.

Pengurangan polusi ini kemungkinan merupakan alasan utama mengapa Williams dan rekan-rekannya mengamati penurunan aktivitas petir, yang mencakup kilat yang menyambar tanah, serta kilat di dalam awan dan kilat di antara awan dan udara.

Salah satu metode peneliti, yang menangkap banyak kilatan intracloud (jenis petir yang paling umum), mengukur 19% lebih sedikit kilatan pada periode Maret 2020 hingga Mei 2020 dibandingkan dengan jumlah rata-rata kilatan petir pada periode tiga bulan yang sama pada tahun 2018, 2019, dan 2021.

“Sembilan belas persen adalah pengurangan yang cukup besar,” kata Williams.

Metode lainnya, melihat resonansi elektromagnetik global yang disebut resonansi Schumann. Williams mengatakan intensitas mereka dianggap sebanding dengan jumlah kilatan petir yang terjadi, dan pengukuran ini juga menunjukkan bahwa ada lebih sedikit petir selama tahun 2020.

Selain itu, hasil menunjukkan bahwa tempat-tempat dengan pengurangan aerosol atmosfer yang lebih dramatis cenderung juga memiliki pengurangan petir terbesar.

Asia Tenggara, Eropa, dan sebagian besar Afrika mengalami beberapa pengurangan terbesar baik dalam aerosol atmosfer dan kilat, sementara Amerika mengalami perubahan yang tidak terlalu dramatis. Williams mengatakan dia tidak yakin mengapa ada penurunan konsentrasi aerosol yang lebih lemah di Amerika, tetapi dia menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi aerosol di Amerika Selatan bagian utara dapat disebabkan oleh kebakaran.

Salah satu alasan peneliti ingin memahami petir adalah karena petir mempengaruhi atmosfer. Williams mengatakan bahwa sambaran petir menghasilkan nitrogen oksida, yang berkontribusi terhadap polusi udara. “Kimia atmosfer itu pasti dipengaruhi oleh aktivitas petir,” katanya.

Simak Video “Upaya China Cegah Warga Kelaparan di Tengah Lockdown Ketat
[Gambas:Video 20detik]
(rns/afr)

Selengkapnya


Posted

in

by

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *