EYD dan Editologi

Jakarta

Pemberlakuan Ejaan yang Disempurnakan (EYD) edisi V pada 18 Agutus 2022 sempat heboh di kalangan para penulis. Pasalnya, ejaan menjadi perkakas penting dalam bahasa tulis. Selain penulis, tentu saja yang berkepentingan dengan pemutakhiran ini adalah editor atau penyunting.

Kerja penyuntingan telah ada sejak berdirinya institusi media (penerbit) di Nusantara. Kalangan misionaris paling awal memboyong mesin cetak ke bagian timur Hindia. Mesin cetak itu mangkrak karena tiada operator yang dapat menjalankannya. Lalu, berdasarkan catatan disertasi Zubaidah Isa (1972) tentang sejarah percetakan dan penerbitan di Indonesia, VOC membawa mesin cetak dari Negeri Belanda pada 1624.

Cornelis Pijl disebut-sebut sebagai orang pertama yang mengembangkan percetakan di Hindia. Pijl lahir di Spaardam, Belanda. Ia datang ke Hindia sebagai seorang kapten kapal dan terdaftar pada 1667 sebagai pemeriksa (inspektur) emas dan perak. Pijl juga dikenal sebagai seseorang yang memiliki pengetahuan sangat baik tentang astronomi.

Kegiatan pencetakan sekaligus penerbitan baru benar-benar dimulai pada 1659. Berdasarkan buku Johan Nieuhof (Isa, 1972), Zee-en Lantreize, Pijl memprakarsai pencetakan dan penerbitan almanak (buku berbasis waktu) bernama Tijdboek. Nieuhof tidak menjelaskan lebih jauh tentang apa isi almanak tersebut dan tidak ada contoh terbitan yang tersisa untuk diteliti.

Aktivitas penerbitan baru benar-benar meluas pada tahun 1800-an ketika pemerintah Hindia Belanda menggantikan kekuasaan VOC yang mengalami kebangkrutan. Penerbit pemerintah dan penerbit swasta Belanda mulai memproduksi media cetak dan menyebarkannya di tanah jajahan. Di samping mereka, muncul pula penerbitan peranakan Tionghoa dan bumiputra pada akhir tahun 1800-an.

Awal abad ke-20, mulai meluas penggunaan bahasa Melayu dalam penerbitan di Hindia Belanda di samping bahasa daerah, bahasa Belanda, dan bahasa Mandarin. Belanda membuat pembakuan bahasa Melayu oleh ahli bahasanya, Charles van Ophuijsen. Ia dibantu dua orang pribumi, Nawawi Soetan Makmoer dan Moh. Taib Sultan Ibrahim.

Bahasa Melayu ala Van Ophuijsen merujuk pada penulisan kata-kata bahasa Melayu yang dapat dipahami oleh bangsa Belanda, yaitu menggunakan huruf Latin dan penanda bahasa yang khas: huruf /j/ yang dibaca /y/, huruf /oe/ dibaca /u/, dan tanda diakritik.

Ejaan van Ophuijsen mulai dikenalkan pada 1901 melalui Kitab Logat Melajoe. Komisi Bacaan Rakyat (Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur) yang didirikan setelahnya (1908) praktis menerapkan ejaan Van Ophuijsen dalam penerbitannya yang berbahasa Melayu.

Demikian pula penerbit Balai Poestaka yang merupakan perubahan bentuk dari Komisi Bacaan Rakyat sangat ketat menerapkan bahasa Melayu. Lalu, muncul dikotomi Melayu tinggi dan Melayu rendah. Melayu Rendah sering juga diistilahkan dengan sebutan Melayu pasar atau Melayu Cina.

Kemunculan Para Editor

Ada tiga kegiatan yang mengiringi berdirinya penerbit, baik itu penerbit media massa berkala (koran dan majalah) maupun penerbit buku, yaitu penulisan, penerjemahan, dan penyaduran. Tiga kegiatan pemerolehan (akuisisi naskah) ini akan diikuti dengan kegiatan penyuntingan.

Penerbit swasta Belanda mulai mengenalkan aktivitas pemerolehan naskah dan penyuntingan naskah. Sebuah puisi karya sastrawan peranakan Tionghoa, Tan Teng Kie (1890), yang berjudul Sya’ir Jalan Kreta Api menyebut sosok Alexander Regensburg. Ia seorang Belanda yang berprofesi sebagai penulis dan editor di penerbit Regina Orientis yang berkedudukan di Senen, Jakarta.

Di Balai Poestaka dibentuk unit pemerolehan naskah yang disebut Sidang Pengarang. Soetan Moehammad Zain, ahli bahasa Melayu, memimpin awal Sidang Pengarang di Balai Poestaka pada 1912. Seorang mantan guru, Noer Soetan Iskandar (NSI), bergabung dengan Balai Poestaka di Sidang Pengarang Melayu. Ia berprofesi awal sebagai korektor.

Sidang Pengarang identik dengan redaksi. Menurut Ajip Rosidi, di Balai Poestaka terdapat Sidang Pengarang Melayu, Sidang Pengarang Jawa, dan Sidang Pengarang Sunda—berdasarkan pengguna bahasa yang besar. Tidak diketahui apakah ada sidang pengarang bahasa daerah lainnya pada masa itu.

Sosok NSI sebagai pribumi dapat disebut merupakan cikal bakal seseorang yang berprofesi sebagai editor di Nusantara. Ia dikenal orang yang sangat tekun belajar hingga akhirnya dipercaya menjadi redaktur dan redaktur kepala (hoofdredacteur). NSI sangat taat asas menerapkan bahasa Melayu tinggi berdasarkan ejaan Van Ophuijsen.

Meskipun banyak yang mengkritik kebijakan bahasa Melayu tinggi di Balai Poestaka, NSI kukuh menerapkan Melayu tinggi. Dalam suatu kesempatan, sebagaimana termuat dalam buku P. Swantoro (2016) berjudul Dari Buku ke Buku, Sambung Menyambung Menjadi Satu, NSI menyampaikan bahasa Melayu di Balai Poeskata harus benar-benar Melayu 01—maksudnya sesuai dengan ejaan Van Ophuijsen.

Tidak ada tempat untuk naskah yang bahasanya berantakan. Itu sebabnya pada masa-masa awal Balai Poestaka (BP), sedikit sekali penulis pribumi yang dapat menembus barikade penyuntingan di BP.

Editologi di Indonesia

Berdasarkan sejarah, para editor awal di Nusantara belajar melalui melakukan atau secara autodidak. Mereka dimentori oleh bangsa Belanda yang lebih dulu mengalami kemajuan dalam industri penerbitan di Eropa. Sosok editor masa lalu, selain Nur Sutan Iskandar, di antaranya adalah Sutan Takdir Alisyahbana (STA), Armijn Pane, dan H.B. Jassin. Sampai Indonesia merdeka, tidak ada pendidikan formal dan nonformal untuk para editor.

Nama-nama lain yang kemudian dikenal sebagai sosok yang menekuni editologi secara nonformal di Indonesia, di antaranya Ajip Rosidi, Pamusuk Eneste, Mula Harahap, Adjat Sakri, Dadi Pakar, Wilson Nadeak, dan Sofia Mansoor. Mereka aktif sebagai editor antara tahun 1970-an hingga 1990-an serta menjadi pelatih para editor.

Pada 1980, Ikapi Jaya (DKI) menyelenggarakan lokakarya penyuntingan naskah buku yang perdana dalam konteks pendidikan nonformal penyuntingan. Pada masa itu, Soekanto S. A (sastrawan yang dikenal sebagai penulis buku anak mewakili Gaya Favorit Press) menjadi koordinator kegiatan. Lokakarya itu menghadirkan narasumber J. Adisubrata (Gramedia), Diah Ansori (Djambatan), Yus Rusamsi (Dunia Pustaka Jaya), dan Gabriel Sugiyanto (Gramedia), diikuti oleh 31 orang dari berbagai penerbit.

Di dunia internasional sendiri, editologi sebagai ilmu baru diakui pada tahun 1960-an. Berdasarkan studi literatur, editologi lahir sebagai upaya memperkuat kontrol editorial di penerbitan karena semakin kompleksnya aktivitas penerbitan dan berkembangnya genre tulisan. Istilah editologi menurut Altbach dan Hoshino dalam International Book Publishing: An Encyclopedia (2015) kali pertama digunakan pada Konferensi the Japanese Publishing Institute pada tahun 1969.

Shang Ding, penulis dari China menggunakan istilah ‘editologi’ kali pertama dalam bukunya A Short Remark on Editology. Definisi ‘editologi’ ialah ilmu tentang segala aturan penyuntingan pada semua jenis publikasi. Ia merupakan ilmu yang beririsan dengan banyak ilmu pengetahuan lainnya dan dapat dikatakan sebagai ilmu pengetahuan yang komprehensif. Pada 1984, Science of Publishing Institute of China didirikan dengan tugas utama meneliti dan mengembangkan editologi. Institut tersebut kemudian pada Oktober 1986 menerbitkan buku berjudul Applied Editology yang menandai pengakuan resmi terhadap istilah tersebut.

Dengan demikian, editologi memang sebuah ilmu yang baru menjadi perhatian pada tahun 1980-an. Langkah maju ilmu penyuntingan di Indonesia terjadi ketika Program Studi Editing Unpad didirikan pada 1988 yang diinisiasi oleh Prof. Jus Badudu. Pendirian ini diikuti pendirian Jurusan Penerbitan di Politeknik Negeri UI pada 1990—belakangan politeknik ini berubah menjadi Politeknik Negeri Jakarta. Prodi D-3 Editing Unpad hanya bertahan sampai 2010 lalu –tidak diteruskan.

Politeknik Negeri Jakarta Jurusan Penerbitan akhirnya lebih berfokus pada jurnalistik. Baru pada 2008 didirikan Politeknik Negeri Media Kreatif/Polimedia (transformasi dari Pusat Grafika Indonesia) yang membuka Jurusan Penerbitan sampai kini. Namun, Prodi Penerbitan di Polimedia juga tidak berfokus pada editologi. Artinya, saat ini hanya tinggal Politeknik Negeri Media Kreatif (Polimedia) yang masih mengajarkan ilmu penyuntingan naskah secara khusus.

Di beberapa kampus, khususnya jurusan bahasa dan sastra diadakan juga mata kuliah penyuntingan naskah, baik sebagai mata kuliah wajib maupun mata kuliah pilihan. Secara umum dapat dikatakan editologi kini masih tertatih berkembang di Indonesia, setali tiga uang dengan ilmu penerbitan (publishing science). Para penyunting naskah yang kini bertebaran di berbagai penerbit adalah para autodidak. Sedikit sekali dari mereka yang sempat mengenyam pendidikan nonformal penyuntingan naskah, apalagi pendidikan formal.

Peran para penyunting naskah pun tidak terlalu menonjol dalam pembicaraan tentang perkembangan bahasa Indonesia, terutama ejaan Bahasa Indonesia. Saya sendiri baru terlibat dalam pemutakhiran PUEBI pada 2021–2022 yang kemudian berubah menjadi EYD edisi V. Selain saya yang berprofesi sebagai editor, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa juga melibatkan para jurnalis.

Peran editor seperti dahulu dilakukan oleh NSI dan STA dalam promosi tata tulis (ejaan) dan tata bahasa sangatlah penting. Editor menjadi garda terdepan penerapan bahasa yang baik dan benar di industri penerbitan. Namun, pada kenyataannya para editor yang berkiprah di Indonesia sangat lemah perihal kemahiran berbahasa Indonesia. Editor-editor itu memang umumnya tidak berlatar belakang pendidikan kebahasaan.

Mereka direkrut karena ada kebutuhan penyuntingan bidang ilmu tertentu. Namun, para editor itu kurang mendapatkan pelatihan menerapkan tata tulis dan tata bahasa di dalam naskah. Bahkan, belum mengikuti Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia (UKBI) untuk mengukur kompetensi kebahasaan mereka. Padahal, para editor atau penyunting naskah mutlak harus menguasai tata tulis dan tata bahasa sesuai dengan acuan standar bahasa Indonesia.

Tanpa penyuntingan bahasa yang baik dan benar, tentu hasil suntingan kurang bermakna. Ada harapan ketika Pusat Perbukuan dikukuhkan di Kemdikbudristek, pengembangan editologi menjadi perhatian, baik pendidikan nonformal (dalam bentuk kursus singkat) maupun pendidikan formal. Indonesia sudah mendesak memerlukan pendidikan setara S-1 untuk para editor, bahkan S-2. Kita sudah telat beberapa dekade mengembangkan editologi di Indonesia.

Bambang Trimansyah praktisi perbukuan, Ketua Umum Perkumpulan Penulis dan Editor Profesional

(mmu/mmu)

Selengkapnya


Posted

in

by

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *