Cerita Damianus Nadu Penjaga Hutan Adat Hadapi Aparat Bersenjata

Jakarta

Damianus Nadu adalah pahlawan lingkungan penjaga hutan adat di kawasan Kalimantan Barat. Dalam mempertahankan hutan warisan nenek moyang ini, dia pernah menghadapi pasukan bersenjata.

“Kalau keberanian kita nanggung-nanggung saja, hutan adat ini sudah tidak mungkin ada yang tersisa sekarang,” kata Damianus Nadu bercerita kepada detikcom, Rabu (9/2) pekan lalu.

Sepulang meladang, Nadu menceritakan perjuangannya mempertahankan Hutan Adat Gunung Pikul-Pengajid, Desa Sahan, Kecamatan Seluas, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat. Ada bahaya yang dia hadapi dalam mempertahankan hutan adat ini pada masa-masa dulu.

“Ancaman bisa dikatakan nyawa. Dulu ada salah satu oknum aparat suka mengawal kayu. Aparat itu kan tetap bawa senjata, minimal pistol. Paling pelurunya berapa sih? Paling 12 peluru. Saya nggak takut sedikitpun,” ujar Nadu.

Atas jasanya melestarikan Hutan Adat Pikul inilah, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memberinya penghargaan Kalpataru 2021. Tahun 2019, Nadu menerima penghargaan dari KLHK dalam kategori tokoh perhutanan sosial.

Damianus Nadu menjadi salah satu penerima Kalpataru 2021. (Dok KLHK)Damianus Nadu menjadi salah satu penerima Kalpataru 2021. (Dok KLHK)

Dahulu kala di era Orde Baru, dia benar-benar hidup dalam bahaya. Vivere pericoloso yang dialami Nadu terjadi antara dekade ’80-an hingga ’90-an.

“Tahun-tahun itu, perusahaan mudah memperoleh HPH (Hak Pengusahaan Hutan). Ada yang pakai senso (chainsaw/gergaji mesin), alat berat, dan sebagainya, mereka masuk hutan, menebang pohon, bawa kayu log (gelondongan),” kata Nadu.

Hutan masyarakat adat Dayak Bekati Rara yang dulu seluas sekitar 300 hektare kemudian tersisa 100 hektare saja saat ini. Itu pun sudah diperjuangkan mati-matian. Zaman dahulu, kisah Nadu, perusahaan-perusahaan pemegang HPH berkongsi dengan oknum aparat. Sulit sekali bagi masyarakat sipil untuk melawan kuasa pemodal-penguasa jika tidak punya keberanian yang cukup.

“100 Hektare inilah hasil kemampuan kita menggadaikan nyawa, berhadap-hadapan dengan oknum-oknum tertentu yang membekingi cukong-cukong kayu pemodal pada saat itu,” kata Nadu.

Ada yang tetap teguh berjuang mempertahankan hutan tapi ada pula sebagian yang tidak. Namun Nadu dan masyarakat setempat tidak pernah mundur sedikitpun karena sadar itu adalah wilayah adat. Dia hidup di Dusun Melayang, Desa Sahan. Dia berkaca dari dusun tetangga yang sudah kehilangan hutan adatnya. Dia tidak mau hal yang sama terjadi.

Tahun 1987, dia ingat pengalaman berhadapan dengan oknum-oknum aparat bersenjata. Saat itu perusahaan yang dibekingi oknum mulai membabat hutan untuk mengangkut kayu-kayunya. Kayu-kayu itu biasa dibawa truk dan diangkut sampai Pontianak. Nadu tidak tinggal diam.

“Saya ancam ke mereka, kalau masih berlanjut penarikan kayu pakai alat-alat berat ini, saya akan menyerang!” kata Nadu menceritakan sikap tegasnya saat itu.

Subuh-subuh, dia melihat aparat menjaga persimpangan dusun mereka. Para aparat mengantisipasi bila saja Nadu dan warga mengamuk menyerang aktivitas penebangan hutan. Dia sadar setiap aparat membawa senjata api, minimal pistol.

“Kita tetap maju, kita menghadapi langsung. Saya maju dan mengatakan saya ditangkap pun tidak apa-apa karena kita di pihak yang benar,” kata Nadu.

“Kita tegas, lantang, dan keras. Ternyata kita nggak ditangkap,” imbuhnya. Nadu kemudian sempat dipercaya warga menjadi Kepala Dusun Melayang tahun ’90-an.

Perjuangan Nadu tidak sia-sia, setidaknya 100 hektare yang tersisa kemudian dikukuhkan pemerintah (Kabupaten dan Pusat) menjadi hutan adat di tahun 2000-an. Saat ini, Hutan Adat Pikul juga menjadi tempat penelitian Universitas Tanjungpura. Hutan ini menyimpan tengkawang, pohon dilindungi yang buahnya bisa dimanfaatkan jadi produk laku jual oleh masyarakat Dusun Melayang namun tetap ramah lingkungan.

Hutan Adat Pikul tetap lestari karena juga masyarakat setempat masih menghormati hukum adat dengan otoritas Ketua Masyarakat Hukum Adat (MHA) Dayak Bakati Rara Dusun Melayang. Barangsiapa sengaja menebang tanpa seizin tetua adat dan tidak sesuai kebutuhan, maka sanksi adat akan diberlakukan. Kalaupun masyarakat benar-benar memerlukan pohon di hutan, maka surat tertulis harus diajukan ke otoritas adat.

Damianus Nadu (Dok pribadi)Damianus Nadu (Dok pribadi)

Pohon yang tumbang secara alamiah boleh dimanfaatkan namun juga perlu seizin otoritas adat dan sesuai kebutuhan. Pohon itu, sekalipun tumbang sendiri tanpa ditebang, tidak boleh dibisniskan.

Kegiatan di dalam hutan juga dibatasi. Kegiatan yang boleh dilakukan di dalam hutan adalah fasilitas kegiatan ibadah, fasilitas penanggulangan bencana, dan fasilitas umum yang tidak merusak hutan. Namun untuk panen buah tengkawang, siapa saja boleh memanen tanpa perlu upacara adat, asalkan tidak memanjat pohonnya, tidak merusak, apalagi menebang.

Sanksi adat bagi pelanggar aturan adalah ganti rugi sejumlah dua kali biaya pengukuhan hutan adat pada 15 September 2000 yang menggunakan ukuran babi 80 kg.

Damianus Nadu (Dok pribadi)Damianus Nadu (Dok pribadi)

“Selama ini aman-aman saja, belum pernah ada yang melakukan pelanggaran. Satu orang pun belum ada yang melakukan pelanggaran,” kata dia.

Hutan adat ini dikukuhkan pada tahun 2000. Barulah setelah itu, terbit Surat Keputusan (SK) pengukuhan Hutan Adat dari Bupati Jakobus Luna pada 2002 dan SK dari Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar pada 2018.

(dnu/idn)

Selengkapnya

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *