Budiman PDIP Bicara Alasan Megawati Kalah dari SBY di Pemilu 2004

Jakarta

Politisi PDIP Budiman Sudjatmiko membeberkan alasan Ketumnya Megawati Soekarnoputri kalah pada Pemilu 2004 silam. Dia mengungkap hal itu saat membahas terkait era Orde Baru hingga reformasi.

Budiman menyampaikan itu dalam acara diskusi bertajuk ‘Reformasi 25 Years: Continuity and Stability for Indonesia after The 2024 Election’ yang digelar Para Syndicate. Dia awalnya bicara terkait kemunculan Megawati di tahun 2001 setelah kepemimpinan Habibie dan Gus Dur.

“Zaman Habibie sudah, nggak sampai 5 tahun, zaman Gus Dur nggak sampai 5 tahun, Bu Mega muncul 2001 itu untuk merespons disrupsi 1998 sampai 2001, 2001 kan tatanan Orde Baru diacak-acak, biasa kan kalau kita reformasi,” kata Budiman dalam diskusi itu seperti dilihat detikcom di YouTube Para Syndicate, Kamis (25/5/2023).

Budiman mengatakan saat itu Megawati muncul dan memimpin Indonesia dengan mengedepankan pelembagaan politik hingga pelembagaan ekonomi dan sosial. Dia menyebut Megawati membentuk KPK, Komisi Yudisial atau KY, hingga Mahkamah Konstitusi atau MK.

“Bu Mega muncul dengan pelembagaan politik, KPK, KY, MK, pelembagaan politik. Bu Mega memilih pelembagaan politik, pelembagaan ekonomi, pelembagaan sosial, diakurkan lagi, ditenangkan lagi, volatilitas tahun 98 diantengkan lagi oleh Bu Mega, ya itu memang sudah harus,” ucapnya.

Ternyata, kata dia, keputusan Megawati berdampak pada Pemilu 2004. Dia menyebut Megawati kalah di 2004 karena tidak populer sebagai sosok yang melakukan pelembagaan.

“Konsekuensinya apa? Tahun 2004 ketika Bu Mega nyalon dalam Pilpres langsung kalah. Karena apa? Beliau menjawab kebutuhan negara untuk melakukan pelembagaan politik demokrasi, setelah selama 32 tahun, pelembagaan politiknya otoriter, diacak-acak, kemudian oke kita lembagakan lagi, kita cari titik sintesanya lagi, tapi dalam kerangka demokratis, yang namanya orang melakukan pelembagaan pasti tidak populer,” ujar dia.

Budiman menegaskan sosok yang melakukan terobosan institusional pasti tidak akan populer bagi masyarakat. Dia mengambil contoh dirinya yang lebih dikenal sebagai aktivis antiorba daripada penggagas Undang-Undang Desa.

“Orang melakukan institusional building pasti tidak populer. Saya lebih populer sebagai aktivis antiorba ketimbang penggagas UU Desa, ketika demonstrasi dulu saya tidak melakukan pelembagaan tapi disrupsi terhadap Orba. Ketika membicarakan Undang-Undang Desa, anggaran, segala macem, itu pelembagaan, saya nggak populer pasti. Itu sudah biasa, harga yang harus dibayar oleh orang yang mau melakukan pelembagaan politik. Bu Mega melakukan itu, meski rakyat pada waktu itu masih pengin melakukan disrupsi terus menerus,” tuturnya.

Lihat juga Video: Kata Menteri PUPR soal Anies Bandingkan Pembangunan Jalan Jokowi Vs SBY

[Gambas:Video 20detik]

(maa/gbr)

Selengkapnya


Posted

in

by

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *